Senin, 20 Desember 2010

lidah pisang (naskah monolog)

LIDAH PINGSAN
S e b u a h M o n o l o g
(revisi - untuk pentas Yogya, 25-26 Nov 1997)

karya Agus Noor & Indra Tranggono
dimainkan Butet Kartaredjasa dengan penata musik Djaduk Ferianto

lidah-pingsan-1.JPG
SEORANG wartawan mencoba memberikan kesaksiannya, tentang Pak Mardiko yang pepe di Balai Desa Menangan. Sudah hampir 30 tahun Pak Mardiko, seorang buruh tani, pepe seperti itu, digerus hujan dan debu. Pak Mardiko pepe menuntut kejelasan nasib anaknya yang dituduh mengerakkan kerusuhan, dan hilang tak tentu rimbanya.
Kegigihan Pak Mardiko, membuat Pak Lurah merasa terganggu. Ia merasa itu sebagai ancaman atas jabatannya. Bermacam usaha ia lakukan. Membujuk secara halus, sampai mengirim petugas keamanan untuk menggertak dan menghentikan pepe Pak Mardiko. Tetapi Pak Mardiko bergeming. Ia terus menuntut agar Pak Lurah memberi penjelasan, bagaimana nasib anaknya yang semata wayang itu. Ia yakin, Pak Lurahlah yang merancang skenario penangkapan itu, yang merekayasa peristiwa kerusuhan antar desa itu. Untuk mencuci tangan, Pak Lurah melimpahkan semua kesalahan itu pada anaknya. Pak Mardiko yakin itu. Karena itulah, ia terus bersikukuh pepe, meski tubuhnyta telah renta dan sakit-sakitan.



Peristiwa itulah yang ingin diberitakan oleh wartawan itu. Tetapi ancaman dan “situasi politik” di desa itu, membuatnya bimbang dan peragu. Ia terombang-ambing untuk menentukan sikap, bertahan sebagai jurnalis atau menyerah sebagai “wartawan resmi”. Ia merasa tak berdaya. Tapi ia terus didorong untuk menuliskan peristiwa itu sebenar-benarnya. Pertarungan pun bergolak dalam batinnya. Sampai kemudian ia menyadari dirinya tak lagi punya kata-kata, tak bisa bersuara. Lidah telah pingsan dalam mulutnya. Membuat apa pun yang diucapkan terdengar aneh dan ganjil.

Dipentaskan pertama kali di Teater Utan Kayu, Jakarta
14 & 15 November 1997

LIDAH PINGSAN
S e b u a h M o n o l o g

LAGU LIDAH PINGSAN
Kalau kamu korannya tengu
aku tak mau diwawancara
Jangan Tuan dan Nyonya,.. curiga slalu
lantas nglarang pementasan sandiwara
Ke Djokdja bersama teman
jangan lupa ke Pasar Kembang
Memang sukar jadi wartawan
nulis benar nyawa melayang
Ada kucing naik di atap
turun hujan jadi basah kuyup
Jangan heran koran tiarap
sebab nasibnya tergantung SIUPP
Paling enak buah durian
beli empat dapat sembilan
Paling enak jadi Anggota Dewan
purna tugas dapet cincin sepuhan
Jalan-jalan ke Parangtritis
ombak menghantam istana pasir
Jadi cendekiawan janganlah kritis
salah-salah bisa tersingkir
Buah pare rasanya pahit
buah pace rasanya sengir
para nasabah hatinya sakit
bank-nya pailit pemilik ngacir
Paling senang penyanyi orkes
dipuja-puja dan dikagumi
Paling senang konglomerat sukses
tapi sayang hobby-nya kolusi
Siang-siang udara gerah
paling enak hanyalah mandi
Ada orang sibuk operasi lidah
agar jadi priyayi tinggi

RUANG REDAKSI SURAT KABAR. DI BAGIAN BELAKANG PANGGUNG TERPAMPANG PAPAN BERTULISKAN: KANTOR REDAKSI “SOEARA RAHAKJAT” TERBIT SEJAK TAOEN 18….. SEORANG WARTAWAN TENGAH SIBUK MEMBIKIN LAPORAN. ADA PIKIRAN YANG MENGHATUINYA, YANG MEMBUAT IA TAK JENAK, HINGGA IA LEBIH BANYAK TERMANGU DI DEPAN MESIN TULIS. SAMPAI AKHIRNYA IA MENARIK KERTAS ITU, SELINTAS MEMBACA, SEBELUM AKHIRNYA MEMBUANG KERTAS ITU.
WARTAWAN:
Salah. Memang salah. Barangkali menjadi wartawan merupakan kesalahan saya. Lha wong banyak profesi, eh kok saya memilih jadi wartawan alias nyamuk pers, kuli tinta eh malah sekarang ganti kuli disket. Kuli ! Cuma kuli ! Tak pernah jadi juragan. Bukankah menjadi juragan juga menjadi hak setiap kuli, eh bangsa ? Hakekat kuli itu ya cuma jadi orang suruhan. Orang yang berposisi “di”, tidak pernah menempati posisi “me”. (KEPADA PENONTON) Coba sebutkan, di dunia ini apa enaknya berposisi “di”. Kecuali diperkosa cewek cakep, tidak ada yang lebih enak dari posisi “di”. Beda dengan “me”. Misalnya me-merintah, me-nindih, membungkam, merampok ata me-me yang lain. Baik yang dilakukan secara kasar maupun secara struktural-sistemik !
Sudah lama saya bercita-cita memiliki posisi “me”. Tak usahlah yang aneh-aneh. Sederhana saja. Menulis berita dengan benar. Itu artinya menulis fakta. Bukan fiksi. Soalnya, sudah terlalu lama saya jadi penulis fiksi yang menyamar sebagai wartawan. Lama-lama saya sungkan juga kepada para pengarang, para sastrawan, para budayawan. Saya telah menyerobot lahan mereka dalam hukum kompetensi yang tidak pernah jelas ini…. Tapi, mestinya mereka memaklumi posisi saya. Saya ini memang wartawan. Tapi wartawan Indonesia. Tentu saja beda dengan wartawan sono yang tidak merasa kenal dengan sensor, imbauan, telpon, dan lainnya. Tapi kepada mereka toh saya bisa agak nyombong: apa enaknya jadi wartawan tanpa rambu-rambu ? Kalian mesti belajar dari kami: wartawan dunia ketiga yang selalu terdidik untuk rendah hati, terdidik untuk menulis berita secara sopan, rapi dan tertib. Bahkan saking tertibnya malah kami sampai lupa untuk menulis berita yang sesungguhnya.
Terus terang, kami ini sudah imun kritik. Kami tak lagi silau dengan jargon-jargon yang menggelembungkan kami; seolah-olah kami ini pengawal demokrasi. Kami tidak mau terjebak ke dalam mitos-mitos yang menyumbat derasnya tiras kami. Oplag adalah ideologi kami ! (MERINTIH) Ya…oplag…oplag..oplag. Setiap tarikan nafas kami adalah oplag,…oplag,…oplag…..
Itulah kenapa saya gagap. Itulah kenapa saya tak berani menulis kisah ini dengan lugas? Kalau sudah begini lalu mau apa? Mau jadi anggota “wartawan independent” ? Nanti malah dianggap wartawan liar. Jadi, ya begini-ini (Mengambil secarik kertas di meja) bikin berita jadi serba samar-samar. Kayak puisi gelap saja: Seperti lembu dalam kloset, para nasabah meringkik memburu uangnya. Berlari sebagai semangka persegi empat, dan menjelma jadi tengu…. Wah,…ini metafora apa ???! Perkara yang sesungguhnya sederhana jadi ruwet. Atau jangan-jangan justru saya sendiri yang meruwetkan diri. Biar dikira sophisticated, biar dikira canggih (–padahal cangkemnya nggah-nggih). Atau barangkali self censorship saya sudah terlalu tebal, hingga dikit-dikit takut. Cemasnya over dosis. Khawatir kalau koran saya nanti “bernasib baik” seperti majalah mingguan yang dibreidel cuma karena “jujur, jernih dan jenaka.” Saya bilang “bernasib baik” karena justru dibreidel, maka sekarang ini lahir banyak pejuang, banyak tokoh merasa senasib, dan - yang terpenting - gara-gara pembredelan, tempo hari kami sempat mbarang di Teater Utan Kayu. Coba kalau nggak dibreidel, paling tarikan nafasnya ya sama saja: ….oplag…oplag…oplag…

Tetapi, untuk kasus Pak Mardiko ini, saya benar-benar fight. Naluri kesejatian saya sebagai wartawan benar-benar ditantang. Saya memang tidak sebesar Breinstein dan Woodward yang mampu membongkar Skandal Watergate yang membikin Presiden Nixon jatuh itu. Tapi sekarang saya harus berbuat, meski tanpa disertai jatuhnya presiden. Ada perasaan yang terus mendesak saya, yang membuat saya selalu tertantang untuk menceritakan apa yang dialami Pak Mardiko.

SAMBIL TERUS BICARA, IA MENCOPOT JAKET/ROMPINYA, BERGANTI PAKAIAN (KOSTUM PAK LURAH), HINGGA PERGANTIAN PERAN DARI WARTAWAN KE PAK LURAH BERLANGSUNG SEDEMIKIAN RUPA TAK TERLALU KENTARA, SAMPAI KEMUDIAN IA DUDUK DI KURSI GOYANG. SEMENTARA PAPAN NAMA DI BAGIAN BELAKANG YANG BERTULISKAN KANTOR REDAKSI “SOEARA RAHAJAT” BERUBAH MENJADI PAPAN KANTOR KELURAHAN BERTULISKAN: KANTOR LOERAH “MENANGAN”.

Seperti Tuan dan Puan sudah ketahui, sudah bertahun-tahun Pak Mardiko pepe di depan kantor kelurahan Menangan. (Sayup-sayup, sesekali, terdengar teriakan Pak Mardiko memanggil Pak Lurah, “Pak Lurraahh….). Sepanjang hari Pak Mardiko berteriak memanggil Pak Lurah. Orang tua itu menuntut bertemu dengan Pak Lurah, karena ingin menanyakan nasib anaknya yang hilang setelah terjadi kerusuhan. Berbagai instansi, lembaga perwakilan, kantor-kantor bantuan hukum, LSM bahkan sampai Komnas HAM, sudah ia datangi. Tapi hasilnya masih remang-remang. Bahkan gelap. Mereka hanya bisa angkat bahu setiap ditanya. Tampaknya ada jaring laba-laba raksasa yang menabiri kasus ini.
“Gusti Allah tidak sare. Tuhan tidak pernah tidur.” Begitu keyakinan Pak Mardiko yang selalu dikatakan kepada saya. Ia juga yakin anaknya tak bersalah. Ketika kerusuhan di Desa Menangan meledak, anaknya lagi asyik nonton televisi. Dan saya memang sudah mengecek kebenaran ini dengan mengkonfirmasikannya ke beberapa tetangga Pak Mardiko.Anak Pak Mardiko itu memang tidak pergi ke mana-mana ketika terjadi kerusuhan. Karena itu Pak Mardiko begitu kaget ketika tiba-tiba anaknya dinyatakan sebagai biang keladi kerusuhan. Membuat anak itu ketakutan, lari dan dinyatakan sebagai buronan. Nah,…liding crito, alkisah… akhirnya anak Pak Mardiko tertangkap juga, dibawa petugas entah kemana, dan tak jelas nasibnya. Karena jalur formal-struktural sudah buntu, Pak Mardiko nekad menempuh jalur transendental-spiritual. Bertahun-tahun matahari memanggangnya, hawa dingin menusuknya. Semangat perlawanannya ternyata jauh lebih perkasa dari tubuhnya. Itulah yang membikin saya cemburu sekaligus malu. Kenapa jiwa saya begitu lembek, hanya karena imbauan, dering telpon, dan ancaman. Lebih memalukan lagi, setelah tiga puluh tahun Pak Mardiko melakukan pepe, tak satu pun koran Indonesia menuliskan…. (Terdengar teriakan Pak Mardiko, “Pak Luurraahhh….” panjang dan ngelangut).


SAAT ITULAH, IA SUDAH DUDUK DI KURSI GOYANG, SEBAGAI PAK LURAH. SEMENTARA PAPAN NAMA SUDAH BERGANTI. IA DUDUK DI KURSI GOYANG SAMBIL MENGHISAP PIPA CANGKLONG, SEMENTARA TERIAKAN PAK MARDIKO MASIH SESEKALI TERDENGAR SAYUP-SAYUP. PERLAHAN TERIAKAN ITU KIAN KERAS. MENGGEMA DALAM GELAP, SEPERTI MUNCUL DARI DALAM SUMUR TUA, BERSAHUT-SAHUTAN. TERIAKAN ITU JADI GURUH YANG MENUNTUT PERHATIAN. CAHAYA RUANGAN MEREMANG, TINGGAL SOROT LAMPU YANG MENGARAH DI MANA PAK LURAH DUDUK DI KURSI GOYANG. SESEKALI TERIAKAN PAK MARDIKO MASIH TERDENGAR.
PAK LURAH: (PANIK)

Miin….Parmin….. tutup semua pintu. Tutup semua jendela. Tutup setiap celah udara. Tutup semua. Jangan sampai sebutir udara pun yang masuk. Dasar mesin kamu ! Inisiatif dong ! Itu ventilasi kenapa dibiarkan menganga. Sebagai petugas kamu mestinya tanggap.


PAK LURAH TERENGAH-ENGAH. TANGANNYA MEMEGANG DADA KIRI. JANTUNGNYA KUMAT.

Obat…Min,….obat….cepat. Guoblok kenapa lambat amat ? Ayo cepat…


PAK LURAH MENENGGAK OBAT. BEBERAPA SAAT PENYAKITNYA MEREDA. IA MASIH TERGOLEK DI KURSINYA.

Kenapa suara itu masih saja terdengar Min ??? Suara itu makin lama makin terasa mengerikan. Sudah bertahun-tahun dia meneriakkan nama saya. Rintihan suara itu bagaikan gergaji yang siap menggorok urat nadiku. Singkirkan dia ! Singkirkan dia ! Cepat !

PARMIN PERGI. PAK LURAH MELIHAT PARMIN YANG SEDANG BERUSAHA MENGUSIR PAK MARDIKO. PAK LURAH IMPROVISASI MERESPON GAYA PARMIN.

Kadang saya tak habis pikir, menjelang Abad 21 seperti ini kok ya masih saja ada orang pepe. Mestinya kita sekarang ini kan sibuk dengan alih tekhnologi dan pasar bebas. Ngurusi rupiah yang ditempeleng dollar. Lha kok ini cuma ngurus orang pepe. Ini kan konyol. Apa dikira saya ini raja, pa?! Saya ini cuma lurah. Lho lurah kok diprotes pepe segala. Mbok ya kalau mau pepe sana, ke Keraton saja. Di sana ada rajanya. Atau sekalian ke raja yang satunya,…sana !!!
Mohon diketahui, saya ini “cuma” lurah berprestasi. Lurah Teladan. Maka sudah semestinya saya tidak menginginkan ada gejolak sedikit pun di desa ini. Berulangkali desa kami memperoleh penghargaan, karena tercatat sebagai “desa perintis”. Penghasil devisa negara. Soal TKW, desa kamilah pemasok nomer satu. TKW dari desa kami memang…. heghhh, sangat disukai majikan-majikan manca negara. Diperkosa sekali, minta dikontrak lagi. Soal import batur, desa kami suplyer babu dan jongos andalan.
Mau bukti lain, bahwa saya berprestasi ? Mau ? Bupati saja harus sowan kemari jika ingin diperpanjang masa jabatannya, pakai surat perjanjian. (IMPROV NGETOPRAK). Bahkan Pak Gubernur, kalau ada urusan dinas tidak berani memanggil saya, dia sendiri yang langsung datang ke sini. Apakah reputasi ini akan hancur hanya gara-gara ulah tua bangka Mardiko itu ?


TERDENGAR SUARA MARDIKO LAGI. PAK LURAH CEMAS LAGI. TAPI MENDADAK SUARA ITU BUNGKAM. SEPERTI ADA YANG MEMBEKAP MULUTNYA. PAK LURAH LEGA.

Nah, begitu dong. Tapi caranya terlalu kasar. Kurang sophisticated. Kan bisa pakai cara yang halus, misalnya memberikan sedikit konsesi atau secuil kue proyek, atau kalau perlu saham. Tapi saya pesan. Demi tegaknya wibawa Lurah, demi menjaga citra demokratis kalurahan yang saya pimpin, maka jauhkan kalian dari berbagai kekerasan. Pamong macam kita ini memang repot. Masyarakat senengnya main demo. Dikit-dikit demo. Sampai sulit membedakan mana demo beneran atau sekadar mode.
Juga terhadap pak Mardiko. Saya ingin melakukan pendekatan yang lebih persuasif dan manusiawi. Saya tawarkan dialog, musyawarah untuk mufakat.


MENJADI PAK MARDIKO.

Musyawarah apa ? Bertahun-tahun saya bertahan disini menunggu kejelasan. Tapi jawaban yang saya terima hanyalah kesombongan ! Pak Lurah itu kan mestinya tahu, di mana anak saya. Saya butuh kejelasan.


MENJADI LURAH.

Lha soal anak Mardiko yang hilang itu, ya mana saya tahu ? Kok nuntut pertanggungjawabannya pada saya? Mandatarismu, pa ? Saya sudah menjelaskan, soal penangkapan anaknya, itu bukan urusan saya, tapi urusan pihak keamanan. Sedangkan soal kerusuhan itu, soal penyemprotan gas air mata, itu urusannya …… pengurus sepak bola. Dan kenapa akhirnya anaknya Mardiko itu ditangkap, pasti ada alasannya. Berdasarkan pengusutan yang tuntas-tas…anak itu memang dalangnya.


MENJADI PAK MARDIKO.
Anak saya dalang kerusuhan ? Apa itu tidak berlebihan dan ngawur ? Bagaimana mungkin bocah semuda dia dan sehijau itu punya pengaruh besar untuk menggerakkan massa ? Pasti ada yang salah dalam hal ini.


MENJADI LURAH.
Tidak mungkin salah. Sumber yang mengatakan hal ini adalah petugas keamanan. Mana mungkin petugas kok salah. Yang salah itu ya anaknya Mardiko dan konco-konconya itu. Mereka itu merasa bener tapi keblinger. Subversif. Lihat saja cara jalannya yang deyeng begini (berjalan dengan tubuh “deyeng” ke kiri) Ini pertanda mereka kekiri-kirian. Dan saya selaku pembina warga sudah sepantasnya membawa mereka ke jalan yang benar….


TERDENGAR TERIAKAN PAK MARDIKO.
(MENGGERAM) Gila. Nongol lagi dia. Ini sudah teror namanya. Ini sudah merongrong kewibawaan. Kurang ajar ! Kenapa begitu militan dia ! Ini pasti ada kelompok-kelompok tertentu yang menunggangi. Pasti ada aktor intelektual yang ingin menggoyang saya. Miiinnnn !!!! Parmiiiiinn !!!!

SEAKAN-AKAN MUNCUL SEORANG PETUGAS.
Dari mana kamu?! Jaga, jaga! Apa yang kamu jaga? Janda sebelah? Sudah berapa kali kamu saya perintahkan untuk mengusir Pak Mardiko? Sudah, sudah. Apa matamu tak bisa melihat, tuh, orang tua keparat itu masih berdiri di depan kelurahan. Dan kamu, sebagai Petugas tak bisa bertindak apa-apa. Cuma petentang-petenteng, main pelotot, main gertak.Saya kirim ke Timtim baru kapok kamu.
Min, kalau dia masih bandel, kamu boleh datangkan pasukan. Paksa dia menyingkir. Tapi ingat, tetap dengan cara yang baik. Kamu boleh kejam, tapi sopan. Dan bilang kepada Pak Mardiko, sebagai demokrat sejati, saya tidak anti kritik. Boleh ngritik, asalkan memuji.
Sekarang kamu selidiki kelompok-kelompok yang ada di desa ini. Itu anak-anak muda rombongan sandiwara itu, jangan-jangan justru mereka yang menghasut dan melatih Pak Mardiko? Apa kamu sudah selidiki itu? Lihat, cara Pak Mardiko berdiri dan berteriak-teriak itu, sepertinya sudah ditata. Ada yang mengatur. Teriakannya begitu dramatis. Seperti sudah diajari keaktoran.
Pokoknya saya tak mau tahu, yang penting kamu bereskan Pak Mardiko. Sengit aku. Sudah, sana cepat bereskan. Mau ngomong apa? Pingin dipecat?! Sudah. Pergi, pergi! Lho, kok masih berdiri di situ. Cepat! Bereskan Pak Mardiko.


PAUSE. BERUBAH JADI PETUGAS. TERBUNGKUK-BUNGKUK GUGUP, MEMAKAI TOPI PETUGAS. BERGERAK MENJAUH SEMBARI MELEPAS SARUNG MELIPATNYA JADI DUA, DAN DIJADIKAN BUNDELAN, HINGGA MENJADI SEMACAM ALAT PEMUKUL.

PETUGAS:
Ya, Pak…ya, Pak… Beres, Pak Lurah. Iii..yaa….
Brengsek! Baru enak-enak pacaran sudah dikasih kerjaan. Mending kalau gaji naik. Payah. Nanti kalau para Petugas berontak baru tahu rasa. Emangnya enak terus-terusan dibentak-bentak. Pikir dong kesejahteraan Petugas. Jangan cuma ngurus perut anak sendiri. Kalau sama anak sendiri, apa-apa di kasih. Minta sepatu…. dikasih. Minta kulkas…. dikasih. Minta tivi…….., dikasih sekalian sama stasiunnya. Minta mobil balap……, dikasih sekalian sirkuitnya… Eh, kami cuma minta kapal saja, dibelikan kapal bekas. Itulah payahnya, kalau jadi Lurah kelamaan….
Eee, iya, Pak… Siap. Laksanakan. Iya, Pak.


PETUGAS MENGGAGAH-GAGAHKAN DIRI, MENDEKATI PAK MARDIKO. BER-JALAN MENGITARINYA, SAMBIL MEMAIK-MAINKAN PENTUNGAN SARUNG-NYA. MEMBANGUN IMAJINASI, KALAU DI SITU BERDIRI PAK MARDIKO.
PETUGAS: (KEPADA PENONTON)

Saudara, meskipun saya sudah terbiasa melayani manusia keras kepala seperti Pak Mardiko, - jangan bilang-bilang - sesungguhnya saya males melaksanakan tugas ini. Pertama saya tidak tega. Bagaimana pun dia manusia. Veteran pejuang lagi. Kedua, malesnya lagi, sekarang seolah-olah pejuang; menuntut perubahan, menenuntut keadilan, nanti disuapi proyek atau kedudukan, terus langsung diam. Seperti itu: setan wedok jenenge peri, dandan macak yo tetep setan, jadi penasehat hukum menteri, langsung sak enaknya memusuhi koran.

TERDENGAR TERIAKAN PAK LURAH: “Parrmmiiinnnn!!”

PETUGAS:
(Ke arah Pak Lurah) Iya, beres, Pak. (LALU MAIN SILAT)
(Kembali ke Pak Mardiko) Sekarang saya peringatkan untuk terakhir kali, Pak Mardiko. Jangan bikin keributan lagi. Sekarang, pulang. Pulang! (Mengancam hendak memukul pakai sarung, tetapi perlahan surut) Nah,…begini Pak Mardiko. Kita ini sesungguhnya sama-sama orang kecil ta ? Nggak pernah tahu permainan orang-orang atas. Kita hanya wayang, yang hanya dibutuhkan kalau ada kekacauan. Tapi setelah itu ya masuk kotak. Karena itu, dengan penuh rasa hormat saya minta Bapak lengser dari tempat ini. Kan sama-sama enak…. Gimana ? Bapak sowan saja pada Pak Lurah. Saya antar lewat pintu belakang. Tapi ya itu, nanti kalau sudah berhasil jangan lupa sangkan paraning kursi…
Ah, ini bukan kongkalingkong. Ini cuma finishing secara kekeluargaan. Apalagi bapak ini dulunya pejuang, ingat kan sesanti kita: daripada mandi darah di medan pertempuran, lebih baik sekarang mandi….rupiah. Manut, ya ? Patuh, ya ? Eeee,..malah melotot. Baik.
Kalau bapak nekad, ya sudah. Saya akan bikin perhitungan. Apalagi terhadap orang macam kamu, saya sudah diijinkan “gebuk di tempat”. Sekali lagi saya peringatkan, minggir dari tempat ini !!! Saudara tidak tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tapi juga meresahkan masyarakat.


SAAT ITU PETUGAS BERUBAH MENJADI PAK MARDIKO. SARUNG YANG TADI DIPAKAI SEBAGAI PROPERTI ALAT PEMUKUL, KINI DILILITKAN KE PINGGANG.

PAK MARDIKO:
Masyarakat mana yang resah ? Bertahun-tahun saya di sini, keadaan toh aman-aman saja. Yang resah itu masyarakat atau kalian ? Saya ingatkan, jangan suka main gertak. Sebagai petugas, kewajiban sampeyan itu ya ngayomi, melindungi rakyat. Bukan malah menakut-nakuti. Dan saya ke sini minta pengayoman.
Kenapa persoalan yang begitu sederhana ini menjadi ruwet. Atau sengaja dibikin ruwet guna menutupi keruwetan yang lebih besar ? Nak petugas,…saya yakin, hati kecilmu bisa memahami perasaan saya. Nurani tak bisa dibungkam dengan kekuatan apa pun. Ia akan berteriak keras-keras. Dan saya mendengarkan teriakan itu. Itu berarti kamu bisa mengerti kenapa aku marah terhadap keadaan yang sama sekali tidak ramah.
Seperti juga kamu, saya pun tersiksa. Demi tugas kamu harus menyingkirkan saya, dan saya harus tetap bertahan. Semua orang bersorak dan mengharap saya tetap harus bertahan. Mereka butuh pahlawan. Betapapun pahlawan itu cuma seorang petani gurem macam saya. Ini sangat menyiksa saya. Tapi peran ini harus saya mainkan untuk memenuhi dahaga mereka. Soalnya, mereka itu terlalu sering tertipu oleh orang yang mereka sangka pahlawan, tetapi kemudian cuma petualang yang tanpa rasa bersalah bersekutu dengan lawan. Mereka merindukan manusia yang antara perkataan dan tindakannya tidak bertolak belakang. Saya tak butuh semua itu. Saya tak butuh gelar dan tanda jasa…. Tapi kalau diberi bintang lima, ya pasti saya terima….
Rasanya saya sudah begitu sabar menghadapi perlakuan kalian. Terlalu sabar, saya kira. Kamu lihat pohon itu. Saya masih ingat, ketika hari pertama saya mulai pepe di sini, pohon itu belum lagi setinggi satu meter. Masih kecil. Selama saya pepe, saya menyaksikan pohon itu tumbuh dan berkembang, sampai selebat dan sebesar sekarang — sampai-sampai menjadi mayoritas tunggal di lapangan ini. Angkuh menjulang.
Satu hal yang mestinya kalian sadari: sebatang pohon pun tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Lalu kenapa sikap kalian masih saja kekanak-kanakan? Gampang menyalahkan, selalu mencari kambing hitam untuk setiap kesalahan kalian. Jalan pikiran kalian persis kanak-kanak yang suka berkelahi dan menciptakan musuh agar tetap dianggap jagoan.
Minggir kamu. Sekarang ijinkan saya menemui Pak Lurah. Apakah orang kecil macam saya tidak punya hak untuk bertemu dengan Lurahnya, pemimpinnya ? Apakah orang kecil macam saya hanya punya hak untuk dihalau dan diusir ? Atau barangkali Pak Lurah menghendaki cara lain. Baik. Sekarang minggir kamu. Biarkan saya masuk. Masuukkkkk !!! Tampaknya Pak tidak menghendaki saya bersikap sopan. Minggir kamu. Pak Lurah keluar kamu !


PAK MARDIKO MENERJANG MASUK. LALU KELUAR LAGI. NAFASNYA TERENGAH-ENGAH. KEPADA PEMUSIK IA MENGATAKAN INGIN ISTIRAHAT KARENA KECAPEKAN.
LAMPU MEREMANG. KEMUDIAN, PERLAHAN CAHAYA MENERANGI BAGIAN PANGUNG BERSETTING KANTOR REDAKSI. TULISAN DI PAPAN BERUBAH MENJADI KANTOR REDAKSI “SOEARA RAHAKJAT”. WARTAWAN MEANDANGI ARAH DIMANA ADEGAN PAK MARDIKO TADI BERLANGSUNG, SEAKAN MENYAKSIKAN KEJADIAN TADI.


WARTAWAN:
Begitulah. Siapa pun mahfum akan duduk perkaranya. Tapi kenapa saya begitu gagap?! Setiap kali saya bermaksud menuliskan semua itu, seluruh kata-kata yang saya punya tiba-tiba lenyap. Ngumpet entah kemana. Tiarap. Saya panggil-panggil, saya cari-cari, eh, begitu ketemu saya cuma bisa nulis kisah-kisah pembunuhan dan perampokan. Yah, paling banter ya soal rencana perkawinan artis dengan mentri. Ee..alaah.. kok ya segitu keberanian saya.
Terus terang, Bung, saya kadang sependapat dengan pernyataan-pernyataan Pak Lurah, kalau apa yang dilakukan Pak Mardiko sesungguhnya tidak pada tempatnya. Istilah tahun 60annya: kontra revolusi! Kalau sekarang ya GPK begitu. Atau OTB. Atau GN-OTA. Lho aneh kan ? Saya benar-benar terombang-ambing untuk menentukan sikap dan pilihan. Sebagai journalis sejati saya harus membenarkan tindakan Pak Mardiko. Tetapi sebagai “wartawan Indonesia yang resmi” saya harus mengamini pendapat Pak Lurah, dan kalau perlu mengutuk sikap Pak Mardiko. Bingung saya….
Untuk apa saya memilih profesi wartawan, kalau saya malah tak bahagia? Saya fikir, saya tak bisa membiarkan keadaan ini menyiksa saya. Terlebih-lebih setelah saya mengenal Pak Mardiko secara dekat. Ia seakan menggugah tidur panjang saya. Bahwa ada yang bisa kita lakukan selain mengeluh dan menyerah. Ya, Pak Mardiko memang kalah, tapi ia tetap percaya dengan apa yang diyakininya. bahwa apa yang dilakukannya tidaklah sia-sia.
Sekarang saatnya saya harus mulai mempercayai kembali kata-kata. Belajar berbicara. Bersuara. Melatih lidah saya agar tak terlalu kaku karena selama ini hanya membisu. Setidaknya, saya hendak mulai mempercayai kata-kata. Agar saya tak terlalu sinis pada semuanya — seperti penulis lakon ini, juga tokoh-tokoh dalam lakon ini: yang sinis pada semuanya. Bahkan Aktor dan Pemusiknya pun selalu mengejek semuanya. Glenyengan. Karna apa? Karna mereka tengah mengalami krisis kepercayaan! Mereka kehilangan orientasi? Bingung, lalu untuk menghibur diri, mereka mengejek dan meledek semuanya. Sinis!
Saya, tokoh yang diciptakan penulis lakon ini, sungguh malu pada cara mereka yang seakan hanya pingin mengumbar tawa. Tidak kontemplatif, begitu. Apalagi ini meledek profesi wartawan. Ini kan keterlaluan. Seakan apa yang dikerjakan wartawan selama ini hanya bisa dijadikan bahan dagelan. Sebagai tokoh-wartawan dalam sandiwara ini, saya tidak terima. Saya tak mau cuma dijadikan boneka tanpa nyali, yang menerima semua keadaan dan tekanan ini dengan senang hati. Saya bukan badut, yang cuma bisa mengocok perut. Tetapi, bagaimana ya ? Kalau saya nekad, nanti dipecat ? Kalau berteguh, bisa terancam dibunuh ? Bingung saya. Saya terombang-ambing,….terombang-ambing….


PAUSE. MENJADI PAK LURAH. DUDUK DI KURSI. PAPAN NAMA BERUBAH, MEJADI “KANTOR LOERAH MENANGAN”.

PAK LURAH:
Miiin, Parmin… Min, bagaimana keadaan di luar ? Aman ? Kamu jangan cuma lips-service, asal bapak senang. Apa dikira saya tidak tahu, kalau belakangan ini kasak-kusuk tentang saya begitu santer. Terutama wartawan yang kemarin terlihat mondar-mandir itu ? Saya yakin, wartawan itu pasti hendak memanas-manasi Pak Mardiko. Pasti dia tengah merencanakan sesuatu.


TERDENGAR SUARA. MUSIK GEMURUH. SEAKAN ADA RIBUAN KAKI BERGERAK MENGEPUNG, MEMBUAT PAK LURAH CEMAS.

Min, suara apa itu, Min ? Astaga ! Min, lihat Min….mereka telah mengepung kita ! Lihat, Min, tak hanya seorang Mardiko yang mendatangi kita. Tapi puluhan Mardiko. Kamu lihat, Min. Ratusan Mardiko berbondong-bondong kemari. Bahkan ribuan. Kamu dengar derap kaki mereka Min….
Tatapan mereka nanar. Marah. Garang. Jumlah mereka terus bertambah Min. Mereka mendesak kita….


MUSIK MEREDA.
Min,…mereka mengepung kita. Apakah warga desa ini hendak berontak ? Cepat kamu lihat, Min. Kenapa kamu gemetar begitu ? Ayo songsong mereka dengan penuh kebanggaan. Sambut kedatangan mereka, Min !!!

MUSIK. WARTAWAN DATANG. PAK LURAH MENYAMBUTNYA DENGAN HANGAT.
Silahkan… Silahkan, Mas Wartwan. Kamu pasti akan tanya soal Pak Mardiko, kan? Silahkan. Silahkan tanya apa saja. Tak perlu takut. Atau kamu rikuh dengan penampilan saya? Kalau memang kamu meginginkan saya untuk tidak menutup diri, baiklah. Saya lepas semua atribut saya, semua tanda pangkat dan kepejabatan saya. Sekarang tanya, silahkan tanya. Tentang Pak Mardiko? Tentang berita-berita yang kamu tulis? Tetang kenapa kamu dipanggil Pemimpin Redaksi kamu? Ayo, silahkan tanya.
PAUSE. 
WARTAWAN:
Benar. Ini soal kejelasan nasib anak Pak Mardiko, bukankah itu semua cuma rekayasa? Saya bisa membuktikannya, Pak. Saya memperoleh bocoran dokumen tentang peristiwa itu. Dan nama Pak Lurah ada di belakag itu semua. Bapak tak bisa mengelak! Kalau saya masih menchek pada Bapak, itu hanya untu prosedur jurnalistik saja. Tanpa perlu bertanya lagi pada bapak, fakta-fakta yang saya temukan sudah kuat. Sangat akurat.

WARTAWAN ITU MENARIK KERTAS YANG SANGAT PANJANG.
Pak Lurah sekarang tidak bisa mengelak. Semuanya jelas. Saya bisa langsung menuliskan dan memuatnya. Inilah masa paling indah dalam karier saya sebagai wartawan. Hampir semua rekan wartawan mendukung saya, mereka berdiri di belakang saya.

PAUSE.
PAK LURAH:
(Tertawa mengejek) Jadi kamu hendak menuliskan semua itu di koran tempat kamu bekerja? Iya? Luar biasa! Kamu memang anak muda yang luar biasa? Selamat. Selamat. Tapi apa dikira dengan begitu kamu sudah merasa menjadi pahlawan? Sudah menang? Silahkan, kalau kamu mau menuliskannya. Silahkan. Tapi apa kamu yakin, koran kamu akan memberitakannya. Memuatnya?


PAUSE. WARTAWAN:
Tentu saja. Tulisan saya sudah siap cetak. Saya datang ke sini hanya untuk menegaskan kepada Bapak, betapa pada akhirnya, saya bisa menuliskan apa yang selama ini ingin saya wartakan. Bapak tak lagi bisa menutup-nutupinya.


PAUSE. PAK LURAH:
Ya, saya bisa menangkap luapan kegembiraan di wajah kamu, Anak Muda. Saya bisa merasakan betapa nada bicara kamu begitu bersemangat. Seakan-akan semua orang berdiri mendukungmu.


PAUSE. WARTAWAN:
Pasti. Semua orang mendukung saya, karena saya datang membawa harapan ribuan orang. Ribuan Pak Mardiko yang selama ini Bapak tiadakan. Seluruh penduduk Desa Menangan, juga berdiri di belakang saya.


PAUSE. PAK LURAH:
Bagaimana kalau saya tidak termasuk orang-orang itu? Bagaimana kalau saya melarang Pemimpin Redaksi kamu untuk tidak memuat tulisan kamu?


PAUSE. WARTAWAN:
Itu tak mungkin Pak Lurah. Pak Lurah tak punya kewenangan mencampuri urusan redaksional! (MEMBEBERKAN GULUNGAN KERTAS-KERTAS BERITA YANG SANGAT PANJANG) Semua sudah ada di sini, Pak Lurah. Pada kertas ini kebenaran sejarah akan terkuak. Pada kertas ini pena keyakinan akan tertulis dan dibaca dari generasi ke generasi. Bapak tak mungkin bisa memberangus tulisan, seperti halnya Bapak tak mungkin bisa memberangus kebenaran.


PAUSE. PAK LURAH:
(Menatap sinis, mengejek, tapi terlihat tenang, duduk di kursi) Ya, saya memang tak memiliki kewenangan soal itu. Tapi bukankah kamu lihat sendiri, saya sudah menanggalkan semua atribut lurah? Yang kamu hadapi saat ini bukan lagi seorang lurah, anak muda. Saya adalah pemilik 90% saham di koran kamu bekerja! Apa kamu belum tahu hal itu? Atau kamu pura-pura lupa soal itu? Kenapa diam? Ayo, tanya, silahkan tanya?! Kenapa jadi gagap begitu? Kenapa cangkemmu jadi kaku? Sariawan?


:PAUSE. WARTAWAN MENATAP KEARAH KURSI, SEAKAN WARTAWAN ITU BERTA-TAPAN DENGAN PAK LURAH YANG DUDUK DI KURSI. AGAK SEDIKIT LAMA ADEGAN SALING TATAP INI TERJADI, YANG MEMUNCULKAN KESAN, BETAPA WARTAWAN YANG SEJAK TADI MELUAP-LUAP MENDADAK SALAH TINGKAH DITATAP PAK LURAH. NADA SUARANYA MELUNAK. AGAK TAKUT-TAKUT DAN MULAI SEDIKIT GAGAP. TAPI MASIH BERUSAHA UNTUK MEMPERTAHANKAN KEBERANIANNYA.

WARTAWAN:
Ti… dak, Pak. Itu saya tidak lupa. Ta….pi, saya a…kan te….tap me…nulis…kannya, Pak. Iya, Pak… I…ya… Ta….pi ini soal har….ga diri sa…….ya sebagai jur…na….lis, Pak. Ba..gai..mana pun sa…ya tak bi….sa te…rus-mene…rus mem…bohongi di..ri sa…ya…


NADA BICARA WARTAWAN ITU GAGAP. IA SIBUK DENGAN LIDAHNYA YANG MENDADAK JADI KELU. KAKU DAN GAGU. BICARANYA JADI TERDENGAR KACAU. KATA-KATA YANG MUNCUL DARI MULUTNYA, TERDENGAR ANEH.

0 unek - unek:

Posting Komentar